BUKIT PERAK
Wahai di pusaran rimba dan leladang PARAA tua, puti
Aku adalah pondok
yang dulu kau tinggalkan , dan kau pergi sendirian
Pungut jejak luka pada setapak sejarah, lalu, berlalu
Di sini, antara
paraa dan sawit, resam dan lalang
Utara dan tenggara
ku tersesat, udara tertegun dalam cerano
Di piuh musim, cerita tak tercatatdalam figura masa
lampau
Orang-orang membangun bukit dan lalu di puncaknya coba gapai nirwana
Dengan getar
jemari rentanya, harap piala nan teracung
Kan dihinggapi tetes
embut dari air mata angkasa, saripati
Kekisah percintaan dewa-dewa di ketinggian kota suci
Hari merapuh doa seirama gemeratak batu candi
Rerumah cinta yang haru kau urup dengan segenap jiwa
LANGU
O putih, di puncak bukit berpayung perak yang terpancangkan
Tanpa ku jelma bebatang paraa, duku dan durian, semedi
yang dharma
Bagi caya surya menyapa mengusap kaki cakrawala
Terus setia menghadap ketimur, membayangkan
sehelaiselendang mayang
Berkibar sempana pelangi jadi KARABENTANG, meski mulut sungai kian nganga tersayat limbah
Sampai ketika orang-orang MELANGUN berlalu menuju rimba
Legenda jelma puing teringkus sesemak purba, aku yang kubu ya, aku yang masih
saja setia dalam semedi menunggumu,
putih sepila memahatku jadi batu , pada langit terkunci Di puncak bukit
berpayung perak, buan tak pernah datang tuk tunggangan Menyeberang malam
mengayuh mimpi seperti terjanjikan mimpiku
pendar sendiri, kekanak dusun lalu mengamitnya menjadikannya anai-anai,
atau angan yang tersangai
Di sini kutuliskan secarik surat cinta kesekian
kepada tuhan, sebagai pengembara pernah ku dengar orang-orang menyenandungkan jolo, menguraikan
KIYU lirih pengapek renta, pancang-pancang menyerumu pengembara pulan kebukit payung perak kita
biar siangi lagi runja tepian-tepian di bantaran, sebelum kabut turun jadi
kelambu penyelubung langu dan langit
PUKAH beraikan biru “ wahai pulanglah, kepadamu kan ku hamparkan ranjang
pengantin dalam hujan, dan kita sepasang
mepelai memangut ridu nan membadai”
dibukit perak, pendar bulan tersimpan
retak iyalah aku, puti.
CANDI
TINGGI
*
Laut tepi pagarmu
Bau darah
Mahluk makan mahluk
**
Tanahberombak-kakimu
Teng!
Dan orang-orang ke puncak
***
Lipatan bukit-puncakmu
Jagat raya kecil
Pusatmu
****
Gunung meru meramal
Samudra mati
Tanah dan langit.
CANDI
MATI SURI
**
Kau terus meronta mengadu
Dalam pusar bumi napas sesak
Hujan begitu rumit terkumpul
Sinar mentari tak bisa menembus bumi
Apa yang kau rasakan seperti dulu
Kau terus menghantui jiwa-jiwa lembut leluhur
Membujuk mengusap bumi
Kini kau mampu mengoyak bumi
Meski tubuhmu tidak begitu utuh
Kau mampu bangkit
Adakah cerita yang bisa kau gambar gemborkan
Adakah damai diantara perbedaan
Apa yang kau tawarkan pada masa kini
Sudah kau membaca celah-celah
Sehingga kau mampu membujuk menengok bumi
Lahir ke dua pada zaman yang berbeda
Kau mampu bangkit berikan lah keindahan
Di antara perbedaan.
***
PERSEMBUNYIAN
CANDI
**
Angin menderu menyapu debu
Wajah tampak sedikit beda
Kebisuan telah lama terkubur
Kini ngucap sejarah
Petuah yang belum sempat di baca
Pada kata terukir di bata
Peradaban masa lampau
Megukir tirai negri
Provinsi jambi yang masih digali
Mencari wajah yang masih tersembunyi
Diantara barisan tanah kubur tak ada nisan
Oleh leluhur belum sempat
Memberi tanda-tanda.
***
SENANDUNG
CANDI MUARO JAMBI
**
Sisa-sisa malam yang sempit
Malam bulan purnama
Sepi
Sunyi
Runcing cahaya menyilinap di atas stupa
Model alam semesta yang dibangun sebagai tempat suci
Membangkitkan asmara rinduku
Pada senandung lagu melayu
Mengalir deras dimuara hatiku
Menghembus angin di percandian
Tiba-tiba gerakan sisa malam yang sempit
Menampar sudut hati disela-sela
Arca prajnyaparamita
Dwarapala
Gajahsimha
Umpak batu
Lumpang lesung batu
Gong perunggu
***
CANDI
BANGGAANKU
**
Susunan penuh arti
Tata letak penuh misteri
Bentukmu kuatkan diri
Sentuhanmu buatku melayang
Susunanmu buatku bimbang
Keberadaanmu panaskan langkah
Di tengah pelapah kehidupan merekah
Sejarahmu banggakan hati
Kokohkan keistimewaan muaro
jambi
***
